Industri Event Indonesia Terkendala Modal dan Perizinan Kompleks

Selasa, 07 Oktober 2025 | 15:37:07 WIB
Industri Event Indonesia Terkendala Modal dan Perizinan Kompleks

JAKARTA - Industri penyelenggaraan event di Indonesia dinilai memiliki potensi besar untuk menjadi penggerak utama perekonomian nasional. Namun, sejumlah tantangan masih menghambat perkembangannya, mulai dari keterbatasan modal hingga proses perizinan yang berbelit.

Menteri Pariwisata Widiyanti menyebut hambatan-hambatan tersebut tidak boleh dipandang sepele, karena tanpa penyelesaian yang tepat, industri event tidak akan optimal dalam menciptakan lapangan kerja, menggerakkan ekonomi daerah, hingga memperkuat citra Indonesia di kancah internasional.

“Tantangan-tantangan inilah yang menjadi kendala pengembangan industri event. Kami percaya melalui dialog terbuka dan kolaborasi antarpelaku industri, akademisi, dan regulator kita dapat menemukan solusi yang tepat dan berkelanjutan,” ujar Widiyanti dalam konferensi pers di Jakarta.

Tingginya Biaya dan Keterbatasan Modal

Widiyanti menjelaskan, salah satu kendala paling mendasar dalam industri event adalah masalah modal. Banyak pelaku industri yang harus menghadapi biaya awal cukup tinggi sebelum sebuah acara dapat diselenggarakan.

Mulai dari biaya produksi, promosi, hingga logistik, semua membutuhkan dukungan finansial yang tidak sedikit.

Karena itu, keterlibatan investor menjadi kunci untuk menjamin keberlangsungan industri ini. Tanpa sokongan modal, banyak ide acara yang berpotensi besar tidak dapat diwujudkan.

Perizinan yang Panjang dan Rumit

Selain persoalan modal, proses perizinan juga menjadi tantangan yang sering dikeluhkan pelaku industri. Banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat membuat proses perizinan menjadi kompleks dan memakan waktu lama.

Widiyanti menegaskan, penyederhanaan birokrasi sangat dibutuhkan agar penyelenggara tidak terbebani oleh regulasi yang tumpang tindih. Hal ini penting mengingat event berskala besar sering melibatkan ratusan hingga ribuan peserta, baik domestik maupun internasional.

Lebih jauh, ia juga menyoroti belum adanya mekanisme pengukuran yang komprehensif terkait dampak lingkungan dari sebuah event, seperti limbah dan jejak karbon yang ditimbulkan.

“Aspek aksesibilitas juga kadangkala masih terabaikan,” tambahnya.

Kesenjangan Infrastruktur di Berbagai Daerah

Permasalahan lain yang menjadi perhatian Kementerian Pariwisata adalah kesenjangan infrastruktur dan fasilitas pendukung antarwilayah. Tidak semua daerah memiliki sarana yang memadai untuk menyelenggarakan event berskala nasional atau internasional.

Widiyanti menyayangkan situasi ini karena menurutnya, jika infrastruktur merata, potensi daerah dapat lebih mudah dikembangkan melalui event. Kemenpar sendiri meyakini event mampu menjadi mesin penggerak ekonomi, membuka peluang kerja baru, mendorong UMKM, serta memperkuat daya saing “Wonderful Indonesia” di tingkat global.

Posisi Indonesia dalam Peta Industri Event Dunia

Deputi Bidang Pengembangan Penyelenggara Kegiatan Kemenpar, Vinsensius Jemadu, mengungkapkan bahwa posisi Indonesia dalam industri event internasional masih tertinggal. Menurut data International Congress and Conventions Association (ICCA), Indonesia saat ini berada di peringkat ke-37 dunia dan ke-10 di kawasan Asia Pasifik.

“(Di ASEAN), nomor satu dalam industri MICE itu masih Singapura karena infrastruktur dia memang sudah mapan. Saya pernah hadir di suatu kongres konvensi MICE di dunia, jadi betapa pentingnya itu kita menggerakkan semua elemen bangsa ini untuk bisa mendukung,” ujar Vinsensius.

Ia menekankan, pembangunan infrastruktur pariwisata harus lebih matang agar Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. Selain itu, perguruan tinggi perlu dilibatkan untuk memperkuat riset terkait tren MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) dan pariwisata global.

Upaya Kemenpar: SEABEF dan WITF 2025

Sebagai langkah nyata mengatasi tantangan tersebut, Kementerian Pariwisata akan menyelenggarakan dua agenda besar pada Oktober 2025. Pertama adalah Southeast Asia Business Events Forum (SEABEF) yang berlangsung pada 10–11 Oktober, dan kedua Wonderful Indonesia Tourism Fair (WITF) 2025 yang digelar pada 9–12 Oktober.

Kedua acara ini akan dipusatkan di Nusantara International Convention Exhibition (NICE), PIK 2, yang diproyeksikan menjadi pusat pameran dan konvensi berstandar internasional di Indonesia.

SEABEF hadir sebagai wadah dialog terbuka dan kolaborasi untuk memperkuat ekosistem pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan. Sementara WITF 2025 difokuskan untuk mempromosikan potensi pariwisata Indonesia ke panggung dunia.

Harapan untuk Masa Depan Industri Event

Dengan adanya SEABEF dan WITF 2025, pemerintah berharap industri event di Indonesia bisa bangkit lebih kuat. Kehadiran forum internasional ini diharapkan tidak hanya menjadi ajang promosi, tetapi juga sarana membangun jaringan bisnis, menarik investor, dan memperbaiki citra Indonesia di mata dunia.

Widiyanti menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor untuk mengatasi hambatan yang ada. Modal, perizinan, infrastruktur, hingga keberlanjutan lingkungan harus ditangani secara simultan agar industri event bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.

Kesimpulan: Tantangan sebagai Pintu Peluang

Tantangan modal, perizinan, hingga kesenjangan infrastruktur memang masih membayangi industri event di Indonesia. 

Namun, dengan sinergi pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat, berbagai hambatan itu justru bisa menjadi pintu peluang menuju industri event yang lebih profesional, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Jika langkah-langkah strategis ini dijalankan dengan konsisten, Indonesia tidak hanya mampu mengejar ketertinggalan dari negara tetangga, tetapi juga berpotensi menjadikan event sebagai tulang punggung perekonomian nasional di masa depan.

Terkini