Disiplin Jam Kerja Sopir Logistik Jadi Kunci Keselamatan

Selasa, 07 Oktober 2025 | 15:37:08 WIB
Disiplin Jam Kerja Sopir Logistik Jadi Kunci Keselamatan

JAKARTA - Pemerintah menegaskan komitmennya untuk memperketat aturan keselamatan di sektor transportasi logistik dengan menekankan pentingnya pembatasan jam kerja pengemudi. 

Aturan ini diharapkan menjadi solusi nyata untuk mencegah kecelakaan lalu lintas akibat kelelahan, sekaligus melindungi kesejahteraan sopir yang menjadi garda depan distribusi barang di Indonesia.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Afriansyah Noor menekankan bahwa setiap pengemudi kendaraan logistik hanya boleh bekerja maksimal delapan jam dalam satu hari. Bila trayek perjalanan lebih panjang dari ketentuan tersebut, perusahaan diwajibkan menyiapkan sistem kerja bergantian dengan menghadirkan dua sopir dalam satu armada.

“Jadi gini, sesuai dengan jam kerja, itu adalah maksimum 8 jam. Jadi ketika ada trayek yang jauh melebihi 8 jam, itu kita akan imbau dan wajibkan seluruh perusahaan menggunakan dua sopir,” kata Afriansyah di Jakarta, Senin 6 Oktober.

Kelelahan Jadi Faktor Pemicu Kecelakaan

Afriansyah menjelaskan, pengaturan jam kerja tidak bisa dipandang sekadar aturan administratif. Banyak kasus kecelakaan melibatkan kendaraan logistik dipicu oleh faktor kelelahan sopir yang menempuh perjalanan panjang tanpa jeda istirahat.

Kondisi tersebut, menurutnya, berbahaya tidak hanya bagi pengemudi, tetapi juga bagi pengguna jalan lain. Karena itu, batas waktu kerja wajib ditegakkan agar operasional logistik tetap aman dan efisien.

“Jadi dua sopir. Seperti bus Malang itu, bus-bus yang trayek jauh, mereka sudah punya dua sopir sehingga bisa bergantian. Satunya nyetir malam, besoknya gantian, begitu,” imbuh Wamenaker.

Dukungan dari Menko AHY: Keselamatan Harus Jadi Prioritas

Sejalan dengan Afriansyah, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga menekankan pentingnya penerapan konsisten aturan jam kerja pengemudi truk logistik.

Menurut AHY, aturan sebenarnya sudah ada, namun masalah utama justru terletak pada lemahnya implementasi di lapangan.

“Sudah ada aturannya sebetulnya. Ini juga yang kadang-kadang aturan sudah ada, sudah dikaji dengan baik, tapi tidak dijalankan. Akhirnya menimbulkan korban, insiden, dan kecelakaan,” kata AHY.

Ia menegaskan, keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan sopir logistik harus ditempatkan sebagai prioritas. Sebab, kelompok pekerja ini sering menghadapi kondisi sosial ekonomi yang sulit ketika menjalankan tugasnya.

Suara dari Lapangan: Sopir Terpaksa Gunakan Doping

Masalah kelelahan yang dialami sopir logistik juga disorot oleh Ketua Umum Asosiasi Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (ARBPI) Ika Rostianti. Dalam rapat dengan Komisi V DPR RI, ia mengungkapkan bahwa banyak sopir logistik terpaksa menggunakan zat terlarang untuk menahan rasa kantuk.

“Hampir sebagian sopir logistik itu memakai doping, memakai narkoba. Sekarang tidak masuk akal soalnya Jakarta-Surabaya bisa 14 jam,” kata Ika dalam audiensi bersama DPR dan Menteri Perhubungan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 1 Oktober.

Pernyataan ini mencerminkan betapa kerasnya tekanan yang dihadapi sopir logistik ketika harus memenuhi target waktu distribusi barang. Tanpa aturan ketat mengenai jam kerja, keselamatan mereka dan pengguna jalan lainnya akan terus terancam.

Keselamatan Jalan Raya Sebagai Kepentingan Bersama

Pemerintah melihat sektor transportasi logistik sebagai urat nadi perekonomian nasional. Namun, peran vital ini harus diimbangi dengan standar keselamatan yang tinggi. 

Jika jam kerja tidak dikendalikan, risiko kecelakaan tidak hanya merugikan sopir dan perusahaan, tetapi juga dapat menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi yang lebih luas.

Dengan penerapan sistem dua sopir, operasional logistik tetap bisa berjalan tanpa menurunkan produktivitas. Sopir juga memiliki waktu istirahat yang cukup untuk menjaga konsentrasi selama berkendara.

Menegakkan Aturan yang Sudah Ada

Baik Afriansyah maupun AHY sama-sama menyoroti bahwa regulasi terkait jam kerja sebenarnya bukan hal baru. Aturan sudah dikaji dan dituangkan, namun penerapan di lapangan sering kali diabaikan.

Karena itu, diperlukan komitmen bersama dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan transportasi, hingga asosiasi sopir untuk memastikan bahwa aturan ini benar-benar dijalankan.

Tanpa pengawasan dan keseriusan, aturan hanya akan menjadi dokumen tanpa makna, sementara angka kecelakaan tetap tinggi.

Perlindungan bagi Sopir, Kepentingan bagi Industri

Wamenaker menekankan bahwa penegakan aturan jam kerja bukan hanya untuk kepentingan keselamatan, tetapi juga bagian dari strategi meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja logistik. Dengan beban kerja yang lebih manusiawi, sopir dapat bekerja lebih sehat, produktif, dan memiliki kualitas hidup lebih baik.

Di sisi lain, perusahaan juga diuntungkan karena operasional logistik menjadi lebih aman dan risiko kerugian akibat kecelakaan dapat ditekan. Pada akhirnya, keselamatan kerja di sektor logistik akan berdampak langsung terhadap efisiensi distribusi nasional.

Kesimpulan: Disiplin Waktu, Disiplin Keselamatan

Penerapan maksimal delapan jam kerja bagi pengemudi logistik, ditambah kewajiban penggunaan dua sopir untuk trayek panjang, adalah langkah nyata pemerintah dalam memperkuat keselamatan transportasi.

Langkah ini tidak hanya mencegah kecelakaan akibat kelelahan, tetapi juga menempatkan kesejahteraan sopir sebagai bagian penting dari sistem logistik nasional.

Dengan pengawasan ketat, penerapan disiplin jam kerja diharapkan mampu menciptakan ekosistem transportasi yang lebih aman, sehat, dan berkelanjutan.

Terkini