JAKARTA - Kebijakan tarif 50% impor furnitur oleh AS mendorong industri furnitur Indonesia untuk reorientasi pasar ke Uni Eropa, Kanada, dan Timur Tengah, sekaligus memperkuat strategi diversifikasi ekspor demi menjaga daya saing dan kelangsungan industri.
Tantangan Tarif 50% dari Amerika Serikat
Ketua Umum Himki Abdul Sobur menyatakan, kenaikan tarif impor furnitur AS sebesar 50% berpotensi menekan kinerja ekspor Indonesia. “Himki sangat menyesalkan keputusan pemerintah AS menaikkan tarif impor furnitur hingga 50%,” ujarnya.
Produk paling rentan adalah furnitur kayu seperti kabinet, meja, kursi, dan produk berbahan pelapis. Tarif tinggi ini menaikkan harga jual di pasar AS, memberi peluang kompetitor seperti Vietnam, Malaysia, dan Meksiko untuk mengambil alih pangsa pasar.
Abdul menambahkan, dampak ini bisa menurunkan permintaan dari buyer AS dan menggeser order ke negara pesaing yang memiliki fasilitas perdagangan lebih menguntungkan. Hal ini juga berdampak pada tenaga kerja di industri padat karya furnitur yang melibatkan lebih dari 2 juta pekerja.
Dampak terhadap Kinerja Ekspor Furnitur
Himki mencatat nilai ekspor furnitur Indonesia pada 2024 mencapai US$2,5–3 miliar per tahun, dengan pasar AS menyumbang lebih dari 50%.
“Artinya, hampir US$1 miliar lebih kontribusinya datang dari AS. Dengan porsi sebesar itu, jelas tarif baru akan memberi tekanan cukup besar pada kinerja ekspor,” jelas Abdul.
Selain menurunkan daya saing, tarif ini berpotensi memengaruhi stabilitas produksi dan pendapatan industri, mengingat besarnya kontribusi pasar AS terhadap pendapatan nasional dari sektor furnitur.
Abdul menekankan perlunya langkah cepat pemerintah melalui diplomasi perdagangan bilateral dan diversifikasi perjanjian dagang ke pasar nontradisional untuk menjaga kesinambungan industri furnitur.
Strategi Diversifikasi Pasar
Himki mendorong anggotanya memperkuat penetrasi ke Uni Eropa melalui IEU-CEPA, ke Kanada melalui ICA-CEPA, serta ke Timur Tengah dan Asia Selatan.
“Himki mendorong anggotanya agar memperkuat penetrasi ke Uni Eropa melalui IEU-CEPA, ke Kanada [ICA-CEPA], serta ke pasar nontradisional seperti Timur Tengah dan Asia Selatan,” kata Abdul Sobur.
Diversifikasi pasar ini penting agar industri furnitur Indonesia tidak terlalu tergantung pada satu pasar. Strategi ini juga diharapkan memperluas peluang ekspor, meningkatkan volume penjualan, dan menjaga stabilitas pendapatan industri di tengah tantangan tarif AS.
Abdul menambahkan, reorientasi pasar bisa mendorong inovasi desain, peningkatan kualitas, dan adaptasi produk agar sesuai dengan kebutuhan konsumen di negara-negara baru.
Ancaman dan Peluang Industri Furnitur
Kebijakan AS menargetkan lemari dapur, meja rias kamar mandi, dan furnitur berlapis kain dengan tarif 50% dan 30%. Tarif ini berlaku mulai 1 Oktober.
Donald Trump sebelumnya mengumumkan tarif khusus industri baru yang menargetkan lemari dapur, meja rias kamar mandi, serta furnitur berlapis kain.
Walau kebijakan ini menimbulkan tekanan, langkah Himki memperluas pasar ke negara lain memberikan peluang bagi industri untuk berkembang dan memperkuat posisi di pasar global.
“Industri furnitur adalah salah satu penyumbang devisa dan pencipta lapangan kerja penting, sehingga keberlanjutannya harus dijaga,” ujar Abdul Sobur.
Dengan strategi diversifikasi pasar, Indonesia bisa mengurangi risiko tergantung pada pasar tertentu, meningkatkan penetrasi di pasar baru, dan tetap menjaga pertumbuhan ekspor furnitur di tengah dinamika perdagangan internasional.