UU

Revisi UU Kepariwisataan Jadi Momentum Pariwisata Berkelanjutan

Revisi UU Kepariwisataan Jadi Momentum Pariwisata Berkelanjutan
Revisi UU Kepariwisataan Jadi Momentum Pariwisata Berkelanjutan

JAKARTA - Pemerintah menegaskan bahwa isu keberlanjutan akan menjadi salah satu pilar utama dalam revisi Undang-Undang (UU) Kepariwisataan.

Langkah ini bukan hanya sebatas merespons tren global, tetapi juga menjadi upaya menata arah pembangunan pariwisata agar lebih ramah lingkungan, inklusif, dan mampu memberi dampak merata bagi seluruh daerah Indonesia.

Deputi Bidang Pengembangan Penyelenggara Kegiatan Kementerian Pariwisata, Vinsensius Jemadu, mengatakan penyusunan revisi UU Nomor 10 Tahun 2009 kali ini banyak menyerap masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk DPR RI, dengan fokus pada aspek keberlanjutan.

“Revisi dari UU Nomor 10 Tahun 2009 ini memang banyak sekali ya, antara lain pilar-pilar soal aspek keberlanjutan itu. Banyak sekali dimasukkan oleh stakeholders, termasuk juga dari DPR RI,” ujar Vinsensius usai menghadiri konferensi pers di Jakarta.

Menyentuh Isu Emisi hingga Green MICE

Vinsensius menambahkan bahwa salah satu isu besar dalam revisi UU Kepariwisataan adalah penghitungan emisi karbon dalam penyelenggaraan kegiatan pariwisata dan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). Hal ini mencakup emisi dari penyelenggara acara hingga delegasi yang hadir.

Menurutnya, pemerintah ingin mendorong konsep green MICE, yaitu penyelenggaraan event yang ramah lingkungan dengan meminimalisasi jejak karbon.

“Pembahasan juga menyangkut denda atau hukuman apa yang dapat diberikan pemerintah pada pihak-pihak yang melanggar aturan, seperti harus menanam pohon agar dapat mendorong peningkatan daya saing masing-masing pelaku industri,” jelasnya.

Dengan pendekatan tersebut, industri pariwisata diharapkan tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi juga berkontribusi pada kelestarian lingkungan.

Pemerataan Infrastruktur Pariwisata

Selain aspek lingkungan, revisi UU ini juga menyinggung pemerataan pembangunan infrastruktur pariwisata. Selama ini, penyelenggaraan event berskala besar lebih terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bali. Padahal, banyak daerah lain memiliki potensi besar yang belum tergarap optimal.

“Mitra kami di DPR itu mendorong supaya daerah-daerah juga harus membangun infrastruktur MICE. Sehingga, dampak ekonomi tidak hanya ada di kota-kota besar tapi juga di daerah-daerah lain, itu yang kita dorong melalui undang-undang,” kata Vinsensius.

Langkah ini sejalan dengan agenda pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan mengurangi kesenjangan antara pusat dan daerah.

Respons Pelaku Industri

Menanggapi masuknya isu keberlanjutan dalam revisi UU Kepariwisataan, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi B. Sukamdani, menyatakan pihaknya tidak keberatan. 

Namun, ia menegaskan perlunya mendengarkan aspirasi seluruh pelaku usaha pariwisata terlebih dahulu.

“Untuk tanggapan dari pelaku usaha, kami masih ingin meminta masukan dari seluruh anggota organisasi melalui rapat pleno terlebih dahulu,” ujar Hariyadi, yang juga menjabat Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

Ia mengaku hingga kini belum menerima salinan terbaru dari hasil revisi UU Kepariwisataan, sehingga masih menunggu untuk memberikan respons lebih komprehensif.

Fondasi Baru Pariwisata Indonesia

Sebelumnya, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menegaskan bahwa revisi UU Kepariwisataan menjadi fondasi penting bagi arah pembangunan pariwisata nasional di masa depan. 

Dalam Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Kamis 2 Oktober, Widiyanti menyampaikan bahwa undang-undang baru ini akan memberikan kepastian hukum sekaligus menekankan kualitas dan keberlanjutan.

“Rancangan undang-undang ini akan memberikan kepastian hukum, mendorong pembangunan pariwisata berorientasi pada kualitas dan keberlanjutan, melestarikan budaya dan lingkungan, sekaligus menata arah pembangunan pariwisata yang lebih sistematis dan adaptif,” kata Widiyanti di Gedung Nusantara II.

Menurutnya, revisi UU bukan hanya menjawab kebutuhan regulasi, tetapi juga strategi untuk memastikan pariwisata Indonesia tidak tertinggal dalam menghadapi tantangan global, termasuk krisis iklim dan perubahan perilaku wisatawan yang kini semakin peduli pada keberlanjutan.

Tantangan Implementasi

Meski disambut positif, tantangan terbesar dari revisi UU Kepariwisataan adalah implementasi di lapangan. 

Penerapan aturan penghitungan emisi, kewajiban penghijauan, hingga pembangunan infrastruktur MICE di daerah membutuhkan koordinasi lintas kementerian, dukungan anggaran, dan kesiapan pelaku industri.

Banyak pihak menilai, keberhasilan revisi UU ini akan sangat bergantung pada konsistensi pemerintah dalam menjalankan pengawasan dan memberi insentif. Tanpa hal itu, konsep pariwisata berkelanjutan dikhawatirkan hanya berhenti pada tataran wacana.

Harapan Pemerataan Ekonomi

Jika dijalankan dengan baik, revisi UU Kepariwisataan berpotensi menghadirkan manfaat ganda. Selain mengurangi dampak lingkungan, revisi ini juga diharapkan memperkuat kontribusi pariwisata terhadap pemerataan ekonomi.

Daerah-daerah dengan potensi wisata besar tetapi minim infrastruktur dapat ikut menikmati multiplier effect dari industri pariwisata.

Dengan begitu, tidak hanya Jakarta atau Bali yang menikmati keuntungan, tetapi juga daerah-daerah lain yang selama ini terpinggirkan.

Penutup

Revisi UU Kepariwisataan membawa semangat baru dalam pembangunan pariwisata Indonesia. Dengan memasukkan isu keberlanjutan dan pemerataan, undang-undang ini diharapkan menjadi landasan hukum yang mampu menjawab tantangan lingkungan, sosial, dan ekonomi sekaligus.

Dukungan penuh dari DPR, pemerintah daerah, dan pelaku industri akan menjadi kunci sukses pelaksanaan aturan baru ini. Bila konsisten diterapkan, pariwisata Indonesia bisa tumbuh lebih sehat, inklusif, dan berkelanjutan, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai destinasi unggulan dunia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index