DPR

DPR Soroti Anomali Kebijakan ESDM di Balik Kelangkaan BBM Swasta

DPR Soroti Anomali Kebijakan ESDM di Balik Kelangkaan BBM Swasta
DPR Soroti Anomali Kebijakan ESDM di Balik Kelangkaan BBM Swasta

JAKARTA - Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah SPBU swasta kembali mencuat. Meski pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) gencar mendorong pertumbuhan sektor hilir migas dengan memberikan izin pendirian SPBU baru, kenyataannya banyak SPBU swasta justru kesulitan mendapatkan pasokan BBM.

 Kondisi ini mengundang kritik dari Komisi XII DPR RI yang menilai terdapat kontradiksi serius dalam kebijakan ESDM terkait tata kelola impor dan distribusi bahan bakar.

Anggota Komisi XII DPR, Yulian Gunhar, menyoroti adanya anomali dalam kebijakan ESDM yang dianggap tidak sinkron. Menurutnya, meski jumlah SPBU swasta terus bertambah, penyesuaian kuota impor BBM tidak berjalan seiring.

"Rentang 2024 hingga 2025 ESDM keluarkan izin pendirian SPBU swasta lebih dari 10%," ungkap Yulian dalam pernyataannya.

Kuota Impor Tidak Berbanding dengan Pertumbuhan SPBU

Peningkatan jumlah SPBU swasta sejatinya perlu dibarengi dengan pasokan BBM yang cukup. Namun, Yulian mempertanyakan apakah kenaikan kuota impor BBM oleh swasta sudah benar-benar memperhitungkan lonjakan jumlah SPBU baru.

"Terkait kenaikan alasan SPBU swasta sudah melebihi kuota impor 10%, apakah sudah dihitung dengan penambahan jumlah SPBU swasta yang mereka beri izin. Ini kan sebuah anomali," ujar Yulian.

Ia menilai, di satu sisi ESDM membuka ruang bagi swasta untuk berkembang dengan izin pendirian SPBU, tetapi di sisi lain tidak menyesuaikan kuota impor yang menjadi dasar suplai BBM mereka. Akibatnya, SPBU swasta kesulitan memperoleh pasokan dan konsumen pun harus menghadapi kelangkaan bahan bakar di lapangan.

Kewajiban Beli BBM Pertamina Picu Polemik

Masalah lain yang disorot DPR adalah kewajiban SPBU swasta untuk membeli base fuel dari Pertamina. Yulian menilai kebijakan ini tidak adil, karena SPBU swasta biasanya menjual tiga jenis BBM, yakni RON 92, RON 95, dan RON 98.

Namun, kenyataannya Pertamina hanya mampu menyediakan dua jenis saja untuk swasta, yaitu RON 92 dan RON 98. Sedangkan RON 95 hanya tersedia terbatas di beberapa kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, itu pun hanya di sekitar 119 SPBU.

“Swasta diwajibkan beli base fuel ke Pertamina, padahal SPBU swasta menjual 3 jenis bensin RON 92, 95 dan 98. Sedangkan Pertamina sendiri hanya bisa menyediakan Ron 92 dan 98,” jelas Yulian.

“Karena untuk Ron 95 Pertamina hanya melayani di Jakarta, Semarang, dan Surabaya sekitar 119 SPBU,” imbuhnya.

Kebijakan ini dianggap tidak konsisten dan semakin memperbesar kesenjangan pasokan, khususnya di SPBU swasta yang beroperasi di luar kota-kota besar.

Dampak ke Konsumen dan Iklim Persaingan

Kelangkaan BBM di SPBU swasta jelas merugikan konsumen. Banyak pengendara yang memilih SPBU swasta karena variasi produk serta layanan tambahan, kini harus beralih ke Pertamina akibat keterbatasan stok. Situasi ini juga menciptakan ketidakseimbangan persaingan di pasar migas ritel.

SPBU swasta yang sejatinya dihadirkan untuk mendorong kompetisi sehat dan memperluas akses konsumen justru terhambat oleh regulasi yang tidak berpihak. Jika dibiarkan, hal ini dapat mematikan semangat investasi swasta dan mengembalikan dominasi pasokan hanya kepada satu pihak.

Anomali Kebijakan: Antara Regulasi dan Implementasi

Menurut Yulian, apa yang terjadi saat ini adalah cerminan anomali kebijakan di tubuh ESDM. Secara regulasi, pemerintah mendorong tumbuhnya SPBU swasta. 

Namun dalam implementasi, kuota impor BBM tidak menyesuaikan dengan izin yang diberikan, bahkan swasta dipaksa membeli BBM dari Pertamina dengan keterbatasan jenis produk.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana ESDM telah menyusun kebijakan yang selaras antara tujuan memperbanyak pemain swasta dengan ketersediaan pasokan bahan bakar?

Tanpa adanya sinkronisasi kebijakan, maka wajar jika kelangkaan di SPBU swasta terus berulang.

Tantangan Menuju Tata Kelola Energi yang Adil

Kritik dari Komisi XII DPR memperlihatkan bahwa tata kelola energi di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, terutama dalam hal transparansi kuota impor, distribusi pasokan, dan keadilan regulasi antara Pertamina dan SPBU swasta.

Pemerintah perlu meninjau ulang skema kewajiban pembelian base fuel dari Pertamina, sekaligus menyesuaikan kuota impor BBM dengan pertumbuhan jumlah SPBU swasta.

 Tanpa langkah korektif, kebijakan yang tumpang tindih ini berisiko menurunkan kepercayaan investor dan memperparah beban masyarakat yang sudah sering menghadapi fluktuasi harga energi.

Penutup

Sorotan DPR terhadap ESDM menjadi peringatan bahwa sektor energi tidak bisa dikelola dengan kebijakan parsial. Pertumbuhan SPBU swasta seharusnya menjadi solusi memperluas akses BBM bagi masyarakat, bukan justru menimbulkan kelangkaan akibat aturan yang kontradiktif.

Kehadiran SPBU swasta penting untuk menciptakan persaingan sehat dan menjaga stabilitas pasokan. Namun, jika pemerintah tidak segera menuntaskan anomali kebijakan ini, maka tujuan tersebut hanya akan menjadi wacana.

DPR menegaskan, kelangkaan BBM di SPBU swasta bukan semata masalah teknis pasokan, tetapi juga cermin dari regulasi yang belum sinkron antara izin, kuota impor, dan kewajiban pembelian.

Ke depan, tata kelola energi yang adil, konsisten, dan berpihak pada masyarakat harus menjadi prioritas agar krisis kelangkaan BBM tidak terus berulang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index