JAKARTA - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa pemerintah telah rutin melaporkan seluruh data kasus keracunan yang diduga berasal dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Badan Gizi Nasional (BGN).
Ia menampik anggapan bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menutup-nutupi informasi tersebut. Menurut Budi, pelaporan data dilakukan setiap hari berdasarkan laporan yang diterima dari puskesmas di berbagai daerah.
Data ini terus diperbarui dan sudah dibagikan kepada BGN sebagai lembaga yang berwenang mengelola informasi terkait program MBG secara nasional.
“Sudah ada datanya, sudah kita share sama BGN. Nanti yang mengeluarkan BGN, tapi datanya kita tiap hari sudah masuk,” ujar Budi di Kompleks Istana, Jakarta.
Data Rutin Diperbarui, tapi Belum Bisa Diakses Publik
Budi menjelaskan bahwa seluruh laporan mengenai dugaan kasus keracunan makanan MBG dikumpulkan melalui sistem pelaporan puskesmas di berbagai wilayah. Laporan tersebut kemudian disinkronkan dengan data sekolah dan penyedia program makan bergizi.
“Jadi sekarang tinggal dicocokin SPPG-nya, SPPG yang mana. Kan kita dapatnya di puskesmasnya, kemudian kita sudah link ke sekolahnya, sekarang kita mesti link ke SPPG-nya,” kata dia.
Namun, meski proses pengumpulan dan sinkronisasi data telah berjalan rutin, data tersebut belum dapat diakses secara publik. Budi menegaskan bahwa kewenangan untuk membuka data tersebut berada di tangan BGN, bukan di Kemenkes. “Nanti BGN yang buka,” tegas Budi.
Transparansi Data Akan Dibahas Bersama Menko Pangan
Lebih lanjut, Budi menyampaikan bahwa waktu publikasi data keracunan MBG akan dibahas bersama pihak terkait, termasuk Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan.
Pemerintah ingin memastikan bahwa setiap data yang dipublikasikan sudah tervalidasi dan akurat agar tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat. “Nanti sama-sama sama Pak Menko kita atur kapan dibuka,” ujar Budi.
Pernyataan ini sekaligus menjawab permintaan publik yang menginginkan keterbukaan informasi terkait program MBG, terutama setelah muncul beberapa kasus keracunan massal di sejumlah sekolah yang menjadi peserta program tersebut.
Laporan Keracunan MBG Diatur Seperti Penanganan Covid-19
Sebelumnya, Budi Gunadi Sadikin telah menyampaikan bahwa Kemenkes akan menerapkan sistem pelaporan rutin terhadap kasus keracunan MBG dengan mekanisme serupa seperti saat pandemi Covid-19.
Menurutnya, sistem pelaporan semacam itu terbukti efektif untuk memantau dan mengendalikan situasi darurat kesehatan secara cepat dan transparan.
“Kami harapkan mungkin nanti kita akan berkoordinasi dengan Badan Komunikasi Pemerintah, kalau perlu misalnya ada update harian atau mingguan atau bulanan seperti saat Covid-19 kita bisa lakukan,” ujar Budi dalam jumpa pers di Kantor Kemenkes, Jakarta.
Dengan adanya laporan berkala, Budi berharap publik dapat memahami perkembangan kasus secara objektif tanpa perlu bergantung pada informasi yang simpang siur.
Koordinasi Antarlembaga Jadi Kunci Penanganan Kasus MBG
Kementerian Kesehatan bukan satu-satunya instansi yang terlibat dalam penanganan masalah keracunan program MBG. BGN, Kementerian Pendidikan, serta Kementerian Koordinator Bidang Pangan turut mengambil peran dalam pengawasan dan evaluasi program tersebut.
Budi menilai koordinasi lintas kementerian dan lembaga menjadi kunci agar masalah ini bisa diatasi dengan cepat. Ia menegaskan bahwa data kasus yang dikumpulkan Kemenkes harus terlebih dahulu diverifikasi oleh BGN, mengingat lembaga tersebut memiliki mandat khusus dalam pengawasan kualitas gizi dan keamanan pangan program MBG.
“Data kami di Kemenkes terus diperbarui. Tapi publikasinya nanti akan menunggu keputusan bersama agar informasinya satu pintu,” tambah Budi.
Konteks Program Makan Bergizi Gratis dan Insiden Keracunan
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang bertujuan untuk meningkatkan asupan gizi anak sekolah di seluruh Indonesia.
Namun, sejak program ini berjalan, beberapa insiden keracunan makanan dilaporkan terjadi di sejumlah daerah.
Kasus terbaru menimpa sekitar 2.700 pelajar di Jawa Tengah. Gubernur Jateng Ahmad Luthfi mengungkapkan bahwa penyebab utama keracunan tersebut diduga berasal dari kurangnya higienitas di dapur penyedia makanan serta penggunaan wadah “ompreng” yang tidak bersih.
Temuan ini menimbulkan sorotan publik terhadap pengawasan mutu makanan dan mekanisme sertifikasi penyedia MBG. Pemerintah pun berkomitmen memperketat proses seleksi dan sertifikasi penyedia agar kejadian serupa tidak terulang.
Pemerintah Janjikan Perbaikan Sistem dan Pengawasan MBG
Menanggapi kasus-kasus tersebut, Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa pemerintah tengah melakukan perbaikan menyeluruh terhadap sistem penyediaan makanan dalam program MBG.
Ia juga mengingatkan bahwa program ini berskala nasional dan melibatkan ribuan sekolah serta penyedia, sehingga pengawasan harus dilakukan secara bertahap namun terukur.
Salah satu langkah yang tengah disiapkan adalah peningkatan sertifikasi dapur dan penyedia makanan melalui proses audit berlapis, agar setiap penyedia memenuhi standar higienitas dan keamanan pangan yang telah ditetapkan.
Budi juga menegaskan pentingnya laporan berbasis data puskesmas untuk memetakan wilayah rawan dan mempercepat penanganan kasus keracunan. “Laporan dari puskesmas menjadi dasar intervensi kami di lapangan,” katanya.
Menjaga Kepercayaan Publik dengan Transparansi Bertahap
Meski belum semua data keracunan MBG dipublikasikan, Kemenkes menegaskan bahwa proses pengumpulan dan pelaporan terus berjalan secara transparan di internal pemerintah. Budi menilai, keterbukaan informasi akan dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan misinformasi.
“Yang penting datanya valid dulu, baru nanti kita umumkan. Semua pihak punya peran masing-masing,” ujar Budi.
Dengan sistem pelaporan yang rutin, pengawasan lintas kementerian, serta perbaikan mekanisme distribusi makanan bergizi, pemerintah berharap ke depan program MBG dapat berjalan lebih aman dan tepat sasaran.
Transparansi data yang akan diatur bersama BGN diharapkan menjadi langkah penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap salah satu program prioritas nasional ini.