Pajak

Gugatan UU Pajak: Pensiun dan Pesangon Tak Layak Dipajaki

Gugatan UU Pajak: Pensiun dan Pesangon Tak Layak Dipajaki
Gugatan UU Pajak: Pensiun dan Pesangon Tak Layak Dipajaki

JAKARTA - Dua pekerja swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, mengambil langkah hukum penting dengan mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang terakhir diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Mereka menilai aturan dalam UU tersebut merugikan pekerja karena memasukkan pesangon dan uang pensiun sebagai objek pajak.

Pokok persoalan yang digugat berpusat pada Pasal 4 ayat 1 UU PPh, yang menetapkan pesangon dan pensiun sebagai objek pajak, serta Pasal 17 UU PPh, yang mengatur penerapan tarif progresif pada kedua komponen tersebut.

Dalil Pemohon: Pesangon dan Pensiun Bukan Penghasilan Biasa

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 170/PUU-XXIII/2025, Senin 6 Oktober 2025, kuasa hukum pemohon, Ali Mukmin, menyampaikan argumen bahwa uang pensiun maupun pesangon tidak bisa diperlakukan sama dengan penghasilan biasa seperti gaji bulanan atau laba usaha.

“Pajak pesangon, pajak pensiun, itu sudah puluhan tahun dikumpulkan oleh para pekerja, tiba-tiba kok disamakan dengan pajak penghasilan progresif,” kata Ali di hadapan majelis hakim MK.

Menurut pemohon, pesangon dan pensiun merupakan hasil kerja keras yang dikumpulkan bertahun-tahun, sehingga lebih tepat dianggap sebagai bentuk tabungan terakhir dari jerih payah pekerja, bukan sebagai keuntungan ekonomi baru yang layak dikenakan pajak progresif.

Persepsi Pemerintah Dinilai Menyakitkan Pekerja

Rosul Siregar dan Maksum Harahap, yang saat ini memasuki masa pensiun, merasa kebijakan pemerintah dan DPR yang memandang pesangon sebagai tambahan kemampuan ekonomis justru melukai perasaan para pekerja.

Mereka menilai kebijakan ini tidak adil karena selama puluhan tahun karyawan telah membayar pajak melalui potongan gaji rutin. Maka, pengenaan pajak tambahan atas pesangon dan pensiun dianggap sebagai bentuk pungutan ganda yang memberatkan.

“Persepsi DPR dan pemerintah yang menganggap pesangon sebagai tambahan kemampuan ekonomis dirasa sangat menyakiti hati para pekerja secara luas,” ujar kuasa hukum menambahkan.

Bertentangan dengan Konstitusi

Lebih jauh, pemohon menilai ketentuan dalam UU PPh dan UU HPP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Menurut mereka, pengenaan pajak progresif terhadap pensiun dan pesangon jelas melanggar prinsip keadilan karena memperlakukan dana tabungan pekerja seolah-olah sama dengan keuntungan modal atau penghasilan usaha.

“Ketentuan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi,” tegas Ali dalam sidang.

Permintaan Pemohon ke MK

Oleh karena itu, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Harapan mereka, dengan adanya putusan MK yang menghapus status pajak atas pesangon dan pensiun, para pekerja yang memasuki masa purna tugas dapat memperoleh kepastian hukum dan keadilan.

Pajak Pensiun dan Pesangon: Polemik yang Tak Usai

Isu pemajakan pesangon dan pensiun bukanlah persoalan baru di Indonesia. Sejak aturan itu diterapkan, banyak pekerja dan pensiunan menilai kebijakan tersebut tidak sejalan dengan semangat perlindungan terhadap buruh.

Bagi mereka, pesangon merupakan kompensasi atas kehilangan pekerjaan, sementara pensiun adalah jaminan hidup di hari tua setelah puluhan tahun bekerja. Menganggap keduanya sebagai tambahan kemampuan ekonomis sama saja dengan mengabaikan makna sosial-ekonomi dari dana tersebut.

Sudut Pandang Hukum Pajak

Di sisi lain, pemerintah dan DPR tetap memasukkan pesangon dan pensiun dalam kategori objek pajak dengan alasan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis, apa pun bentuknya, seharusnya dikenakan pajak penghasilan. Prinsip ini merujuk pada definisi umum pajak penghasilan yang luas.

Namun, dalam praktiknya, pekerja menilai pendekatan itu tidak mempertimbangkan aspek keadilan sosial. Beban pajak progresif atas pesangon dan pensiun dianggap menambah penderitaan di masa sulit, khususnya saat menghadapi PHK atau memasuki masa tua.

Harapan Pekerja atas Putusan MK

Kasus uji materi ini kini menjadi perhatian banyak pihak, terutama kalangan pekerja dan serikat buruh. Mereka berharap MK dapat memberikan putusan yang berpihak pada pekerja dengan membatalkan pasal yang dipersoalkan.

Bagi pekerja, keberhasilan gugatan ini akan menjadi tonggak penting dalam memperjuangkan hak konstitusional, sekaligus memastikan bahwa kebijakan perpajakan lebih berkeadilan.

Jika MK mengabulkan permohonan, maka ke depan pesangon dan pensiun tidak lagi diperlakukan sebagai objek pajak progresif. Hal ini diharapkan meringankan beban pekerja dan pensiunan yang telah lama berkontribusi pada negara melalui pembayaran pajak rutin.

Momentum Refleksi Kebijakan Pajak

Uji materi ini juga menjadi momentum penting bagi pemerintah dan DPR untuk meninjau ulang kebijakan perpajakan agar tidak hanya mengejar penerimaan negara, tetapi juga memperhatikan aspek keadilan bagi rakyat kecil.

Seiring meningkatnya kritik publik terhadap kebijakan fiskal, keputusan MK nantinya bisa menjadi arah baru dalam merumuskan regulasi perpajakan yang lebih berpihak pada pekerja.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index